Jakarta ,dettiknews.com Pendapatan dari ekspor nikel mentah dulu sekitar USD 3 miliar (sekitar Rp 46,5 triliun), lalu Presiden Joko Widodo ngotot menyetop ekspor mentahan. Protes di sana-sini pada awalnya, Jokowi bergeming, dan sekarang nilai ekspor nikel olahan sudah sekitar USD 33 miliar. Kalau dirupiahkan jadi sekitar Rp 514 triliun lebih.
Sudah jelas dan terbukti strategi hilirisasi ini tepat bagi Indonesia untuk melangkah lebih di tahap industrialisasi. Kita tidak mau terjebak dalam apa yang disebut dengan “middle-income trap” seperti di banyak negara-negara Amerika Latin.
Tapi, Baru-baru ini ada yang protes lagi, kali ini dari lembaga keuangan dunia IMF (International Monetary Fund). Lembaga yang biasanya ngasih pinjaman buat negara yang mengalami krisis moneter, sekarang malah mengadvokasi Indonesia untuk mereview strategi hilirisasi nikelnya. Singkat cerita, kurang tepatlah katanya, mending Indonesia ekspor mentahan saja.
Berbagai argumentasi yang disampaikan IMF, pertama-tama penerapan kebijakan itu mesti berlandaskan analisis terkait biaya dan manfaat lebih lanjut. Dan… nah ini dia, kebijakan hilirisasi nikel perlu mempertimbangkan dampak-dampak terhadap wilayah lain.
Lalu IMF juga menyebut agar Indonesia mempertimbangkan dampak dari hilangnya pendapatan dari pajak ekspor. Dan berbagai pertimbangan lainnya yang disusun IMF sedemikian rupa sehingga tampak “ilmiah”.
Namun semua argumentasi itu rontok tatkala diperhadapkan dengan kenyataan USD 3 miliar (Rp 46,5 triliun) versus USD 33 miliar (Rp 514 trilun) tadi. Indonesia sudah sangat diuntungkan dengan program hilirisasi awal ini. Ingat, ini pertambahan nilai di awal proses hilirisasi.
Belum lagi inovasi dan invensi lanjutan dari industrialisasi ini, bukan tidak mungkin ribuan triliun lagi yang bakal kita raup. Hanya saja kita perlu konsisten dan disiplin dalam penerapan strategi ini. Sambil terus membabat habis benalu-benalu di dalam negeri yang sibuk berburu rente (rent-seeking). Mereka culas dan rakus, hanya mementingkan perut buncit mereka sendiri.
Para benalu ini tentakelnya kemana-mana, menggurita, meregam jalur eksekutif, jajaran legislatif dan masuk ke ruang para penegak hukum lewat pintu belakang.
Para penyelenggara negara itu kebanyakan dikendalikan oleh partai politik, bahkan ada yang tegas-tegas melabel mereka sebagai petugas partai. Petugas yang wajib taat titah penguasa partai.
Setelah korupsi dana bansos disaat kita sedang mengalami pandemi Covid-19 oleh Juliari Batubara, lalu benih lobster oleh Edhy Prabowo, sampai korupsi BTS oleh Johny Plate. Kasus ini ternyata mengindikasikan konspirasi multi partai juga.
Baru saja Dito Ariotedjo yang baru menjabat Menpora dimintai keterangan soal aliran dana Rp 27 miliar, jadilah ia pelanggan gedung bundar kejaksaan. Sementara itu, kabarnya ada nama-nama lain yang kabarnya sekarang malah hilang dari daftar. Aneh.
Kasus (dugaan) korupsi BTS ini dari nilai proyek sekitar Rp 10 triliun, lalu dibancaki sekitar Rp 8,3 triliun.
Delapan puluh persen lebih dari nilai proyek habis dibancaki, keterlaluan!!! Ini sudah nggak pakai malu, tidak sembunyi-sembunyi, tapi terang-terangan merampoknya. Minta ampun deh, delapan puluh persen lebih dibancaki ramai-ramai!!!
Oh ya, sekedar mengingatkan, satu triliun itu nilainya sama dengan seribu miliar, dan satu miliar itu sama dengan seribu juta.
Proses hukum mesti terus berjalan, buka seterang-terangnya. Kekurangajaran para pencoleng ini sudah keterlaluan.
Akhirnya, kalau dipikir-pikir, betul kata rekan Akbar Faizal yang bilang:
“Kesalahan terbesar kita sebagai RAKYAT adalah memilih partai dan politisinya yang penuh dengan perilaku korup, lalu membiarkan dan memaklumi seluruh perilaku mereka pada setiap Pemilu. Seharusnya CABUT kepercayaan yang pernah kita berikan kepada mereka lalu serahkan kepada pihak yang baru. Harapan harus selalu kita tumbuhkan dalam bernegara. Sebab, tanggungjawab terbesar kita hari ini adalah mewariskan INDONESIA yang kuat, adil dan layak kepada anak-anak yang bahkan belum kita lahirkan.” Tgl 12/7/2023.
Sumber (LKSP),