Oleh : Dharma Leksana, S.Th., M.Si.
dettiknews.com – Jakarta, Memperingati Hari Ulang Tahun Kemerdekaan Republik Indonesia ke 78 Tahun pada 17 Agustus 2023 penulis ingin menyoroti tentang KEMERDEKAAN PERS di Indonesia.
Melansir Sejarah Lahirnya UU Nomer 40 tahun 1999 Tentang PERS dalam website resmi Dewan Pers yang disebutkan bahwa:
“Pembahasan kelahiran Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers sangat cepat, bahkan super cepat sehingga tercatat sebagai salah satu pembahasan sebuah undang-undang tercepat di Indonesia, yaitu hanya dua minggu. Mulai dibahas pertama kali 20 Agustus 1999, undang-undang selesai dibahas dan disetujui 13 September 1999. Kemudian tanggal 23 September 1999 disahkan sebagai undang-undang dan pada hari itu juga sudah diundang pada Lembaran Negara Tahun 1999 No. 1666. Bahkan menurut Muhammad Yunus Yosfiah, yang kala itu menjadi menteri penerangan dan memimpin pembahasan proses pembuatan undang-undang ini dari pihak pemerintah, sebenarnya waktu yang efektif untuk pembahasan RUU cuma sepuluh hari! Undang-undang ini merupakan hasil dari usul pemerintah. Semula Undang-undang No. 40 Tahun 1999 tentang Pers hanyalah salah satu dari materi muatan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Media Massa, yaitu materi muatan tentang penyiaran, perfilman dan pers. Tetapi karena penggabungan itu dinilai tidak tepat, akhirnya ketiga materi muatan dalam RUU tentang Media Massa dipisahkan satu persatu dan diajukan ke DPR secara terpisah menjadi tiga Rancangan Undang-Undang (RUU), yaitu RUU tentang Pers, RUU tentang Penyiaran dan RUU tentang Perfilman. Ketiga RUU itu sekarang sudah menjadi undang-undang, tetapi RUU tentang Pers yang paling dulu diajukan dan disahkan sebagai undang-undang..” (Sumber : https://dewanpers.or.id/kontak/faq/start/10 )
Melihat dari proses lahirnya Undang Undang Pers Nomer 40 Tahun 1999 tentang PERS yang begitu cepat prosesnya maka menurut hemat penulis sudah saatnya Undang Undang Pers ini perlu dikaji ulang dengan semangat bahwa sudah 24 tahun atau hampir mencapai seperempat abad Undang Undang tentang PERS ini belum pernah direvisi dan di update.
Perkembangan IT dan Teknologi Digital yang sangat pesat juga mempengaruhi eksistensi media (PERS).
Tom Nichols dalam bukunya “The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters” (2017). Nichols secara aktual, cerdas, dan orisinil menggambarkan bagaimana revolusi digital, internet, dan medsos mampu mewahani dan mendorong kuat hasrat heroik, dan narsisme banyak orang. (baca: https://nasional.kompas.com/read/2023/02/11/09101441/penguatan-peran-jurnalisme-warga-pada-era-post-truth.)
Perkembangan IT dan Media Sosial melahirkan JURNALIS JURNALIS WARGA (Citizen Juornalism). Jurnalisme warga dikembangkan dari konsep “journalism as citizenship”, di mana seluruh proses jurnalisme (pengumpulan, analisis, produksi, dan penyampaian informasi dan berita) dilakukan sendiri oleh warga.
Sebagai media tandingan media arus-utama, jurnalisme warga memungkinkan publik bisa mengaktualisasikan sendiri identitas, peran, dan aktivitasnya sendiri secara berbeda dari media arus-utama (Campbell, 2015).
Jurnalisme warga juga menawarkan nilai-nilai tertentu yang menurut banyak orang tidak ada dan tidak dimiliki oleh media-media arus utama yang disinyalir bisa dikendalikan oleh elite politik atau korporasi, dan dianggap telah menjelma menjadi media politik partisan (Ritonga & Syahputra, 2019); serta dianggap telah mengkooptasi hak publik untuk menyatakan pendapat secara terbuka, bebas, dan otonom (Radsch, 2012).
Pada titik ini, jurnalisme warga bisa bersifat responsif dan menjadi kekuatan antitesis terhadap jurnalisme media massa arus-utama (Moeller, 2009; Radsch, 2012). Di sisi lain, jurnalisme warga juga bisa tampil sebagai “media tandingan” dari media-media sosial yang kerap memproduksi, mereproduksi dan mengelaborasi opini, narasi dengan konten bohong atau hoaks terdistribusi secara terstruktur, masif, sistematis, dan brutal (TMSB), tanpa proses moderasi, editorial atau verifikasi atas validitasnya.
Sementara itu, dengan lahirnya UU ITE juga menjadi persoalan tersendiri terhadap kemerdekaan Pers. Karena UU ITE seringkali menyasar kepada profesi wartawan. Kepolisian Negara Indonesia seringkali juga menggunakan Pasal 45 ayat (3) Jo Pasal 27 ayat (3) untuk menjerat wartawan atas ketidakpahaman penyidik maupun Pejabat wilayah Polri dari tingkat Polsek, Polres, Polda bahkan Mabes.
Kepolisian dengan mudahnya menerima dan memproses laporan atas karya jurnalistik yang memiliki fakta dan bukti nyata tanpa adanya melihat peristiwa serta UU No.40 tahun 1999 tentang Pers, bahwa karya jurnalistik tidak dapat dijerat Pasal apapun, mengingat adanya UU yang memberikan payung hukum terhadap karya jurnalistik itu sendiri.
Disinilah persoalan tersebut muncul ketika adanya aduan dan laporan yang membalikan fakta dari object (sumber) yang diberitakan, Kepolisian tidak lagi melihat adanya UU No. 40 tahun 1999 tentang Pers.
Banyak praktisi hukum yang menyinggung soal kepekaan Polisi dalam menangani perkara profesi wartawan. Salah satunya dari seorang praktisi Hukum di Provinsi Riau, Asmanidar menilai, salah satu pasal yang paling ampuh mengkriminalisasi wartawan yaitu Pasal 27 Ayat 3 junto Pasal 45 UU No 19 Tahun 2016 tentang Informasi Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pasal itu tentunya menjadi ancaman bagi kuli tinta, dimana hukuman 6 tahun penjara, jika dibandingkan dengan perbuatan sejenis jika merujuk KUHP sebagai induk undang-undang pidana, hanya memberi ancaman hukuman 1 tahunan sebagaimana disebutkan dalam Pasal 310 dan seterusnya.
“UU ITE jadi senjata yang sangat ampuh untuk memenjarakan wartawan, “tulis dia dari Bangkinang.
Sejak era regulasi pers tahun 1999, justru banyak pasal pidana yang menjerat wartawan.
Bahkan, Southeast Asia Freedom of Expression Network (Safenet) mencatat kebebasan berekspresi ditahun 2020 ada 50 warga sipil yang dilaporkan atas kasus UU ITE.
Sementara itu, sepanjang 2017-2021, setidaknya ada 24 jurnalis yang menjadi korban pasal karet di UU ITE. Itu bisa menjadi salah satu parameter iklim kebebasan Pers dan keamanan digital masih belum sepenuhnya tercipta dan tidak berlakunya UU Nomor 40 tahun 1999 Tentang Pers.
Kepala Divisi Kebebasan Berekspresi Safenet Nenden Sekar Arum juga menilai perihal musabab makin masifnya UU ITE digunakan sebagai alat perangkap pembatasan kebebasan Pers dalam berekspresi dan berinformasi. Bahkan pintu jeratan wartawan sangat empuk dengan dikenakannya UU ITE.
Melalui refleksi HUT Republik Indonesia ke 78 Tahun tentang Pers, Penulis yang juga pemilik beberapa media online dan terus aktif menulis di berbagai media berharap agar Stake holder terkait dapat segera duduk bareng untuk berdiskusi menyelesaikan permasalahan PERS ini agar Pers sebagai media publik dapat terus berkarya dengan MERDEKA di NEGARA YANG SUDAH MERDEKA ini.
(Dharma Leksana, S.Th., M.Si. pemilik PT. Dharma Leksana Media Group memiliki 50 media online yang berkarya pada berbagai bidang pemberitaan)