
Bekasi, dettiknews.com Aliansi Wartawan Non-Maenstream Indonesia (ALWANMI) bersama Alumni Vincentius berunjuk rasa yang Ke2 kalinya di depan gedung Pengadilan Negeri Kota Bekasi (Rabu,24/4/2024)
Sekitar seratus orang yang tergabung dalam ALWANMI ini menuntut agar Hakim Pengadilan Negeri Kota Bekasi bersikap objektif dalam pertimbangan hukumnya memutus kasus yang menjerat Gunata Prajaya Halim dan Ayahnya bernama Wahab Halim.
Peserta aksi demo secara silih berganti meneriakan agar hakim Pengadilan Negeri Bekasi Kota memberikan keadilan kepada Gunata dan Wahab Halim
Mereka merasa keduanya adalah korban kriminalisasi hukum dari oknum penegak hukum yang berhasil menjeblos kan keduanya ke sel polisi hingga jadi tersangka tindak pidana Pemalsuan sebagaimana diatur dalam pasal 266 KUHP dengan ancaman hukuman maksimal 7 tahun.
Buku Putih Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim diberi judul “Jika Penegakan Hukum Nasional Ingin Dibuktikan, maka Bebaskan Gunata Prajaya Halim dan Wahab Halim”.
Koordinator Nasional ALWANMI Arief P. Suwendi dan Sekretaris Jenderal Ir.Chrisman A. Simanjuntak dalam rilis dan orasinya mengatakan, penahanan fisik terhadap Gunata Prajaya Halim (52) dan penetapan penahanan kota terhadap ayahnya, Wahab Halim (85) oleh Kejaksaan Negeri Kota Bekasi adalah tindakan yang tidak berdasar dan tidak beralasan, dan dinilai sebagai tindakan pengangkangan terhadap butir ke-2 Pancasila “Kemanusiaan Yang adil dan Beradab”.
Kerena fisik tanah yang dituduhkan oleh terlapor (initial KP) sebagai ‘Tumpang- Tindih (Overlapping) itu adalah Surat Otentik atau Sertifikat masing-masing pemilik. Dan pembeli selaku pemilik yang telah memiliki surat sah (SHM), baik Gunata Prajaya Halim maupun Wahab Halim, tidak membangun batas-batas permanen atas tanah milik mereka.
Tidak mendirikan bangunan permanen untuk dimanfaatkan sebagai tempat usaha permanen, dan tidak menggali tanah itu untuk digunakan sebagai urugan atau dijual.
Dengan demikian, fisik atas tanah bersebelahan itu tidak ada yang dicuri ataupun dijual untuk beroleh keuntungan oleh Gunata Prajaya Halim maupun Wahab Halim, sehingga tidak ada dasar aparat kepolisian untuk memerintahkan Juru Ukur BPN melakukan pengukuran ulang.
Bidang tanah yang dipersengkatan ini tidak dapat dikatakan tumpang tindih (Overlapping). Karena di seluruh belahan bumi ini, tidak ada dan belum pernah ditemukan, ada tanah yang tumpang tindih, selain akibat longsor dan terjadi pengurugan yang dilakukan orang terhadap tanah lainnya.
Istilah “Overlapping” hanya ada di dalam administrasi ketata-usahaan atau Akta atau Surat Identitas sebidang tanah yang di Indonesia dikenal dengan nama Sertifikat Hak Milik (SHM), Sertifikat Hak Guna Usaha (SHGU), Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB), dan Sertifikat Hak Pengelolaan Lahan (SHPL).
Untuk membuktikan terjadinya Overlapping atau tumpang tindih Surat Kepemilikan suatu tanah, pihak- pihak bersengketa harus mengundang Juru Ukur BPN/Kantor Pertanahan setempat dengan disaksikan oleh kedua belah pihak bersengketa, Pemilik Asal suatu tanah (penjual), dan saksi-saksi masing masing pihak atau pihak yang dihadirkan dalam pengukuran ketika penerbitan sebuah sertifikat dimohonkan.
Kehadiran pihak Kepolisian diperlukan berada di lokasi saat pengukuran untuk pembuktian ada/tidaknya overlapping, dan untuk menghindari dan mengantisipasi terjadinya bentrok phisik, karena kepolisian tidak memiliki wewenang membuat surat tanah.
Jika terjadi perselisihan setelah pihak pertanahan menyatakan terjadi overlapping atas surat tanah, dan tidak terjadi musyawarah untuk mufakat dari kedua belah pihak bersengketa, persoalan dan kasus ini harus diperkarakan di pengadilan perdata untuk menguji dasar-dasar dokumen yang dipersengketa kan, dan pihak yang merasa kehilangan atas surat yang ‘tumpang-tindih’
Dengan itikad baik ketua alwanmi meminta kepada pengadilan negeri Bekasi tolong dipertimbangkan keputusan bapak hakim.
(Rosmauli)