Kaltim dettiknews.com Dugaan Bisnis Gelap di Balik Bimtek Wartawan, Anggaran Desa Desa (ADD) Diduga Disalahgunakan oleh kepentingan kelompok tertentu, Anggaran dari APBN seharusnya digunakan untuk kepentingan Masyarakat
Isu panas tengah mengguncang dunia pemerintahan Desa di Tanah Bumbu Kalimantan Selatan. Kegiatan pelatihan public speaking yang digelar oleh panitia beranggotakan sejumlah wartawan diduga kuat menggunakan anggaran Dana Desa diduga untuk kepentingan Pribadinya, seharus Anggaran tersebut digunakan untuk kepentingan dan kesejahteraan Masyarakat Desa demi terwujudnya desa Mandiri dan berkembang.
Informasi ini mencuat setelah seorang Aparat Desa yang enggan disebutkan namanya membocorkan data sesuai fakta yang terjadi dilapangan menghebohkan publik di media Online.
“Ia mengungkapkan bahwa kegiatan serupa sudah dua kali dilaksanakan di Hotel Aria Barito, berlangsung selama empat hari, mulai 15 hingga 18 Oktober 2025.
“Kegiatan ini sebenarnya sudah sering dilakukan. Tapi yang jadi pertanyaan, kenapa Dana Desa yang dipakai untuk membiayai pelatihan seperti ini? Padahal kegiatan tidak ada hubungan langsung dengan pembangunan atau pemberdayaan masyarakat desa,” ujar sumber tersebut.
Lebih jauh, sumber itu menuding bahwa kegiatan tersebut berpotensi menjadi “bisnis bimtek” atau pelatihan berbayar yang dijadikan ladang keuntungan bagi pihak tertentu.
“Satu kamar hotel yang dianggarkan untuk satu orang, ternyata dipakai dua orang. Jadi jelas ada selisih anggaran yang menguap entah ke mana,” tambahnya.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, setiap desa disebut menyetorkan sekitar Rp 6 juta untuk mengikuti kegiatan tersebut.
” Jika dikalikan dengan jumlah 150 Desa di satu kabupaten, maka dana yang berputar bisa mencapai hampir Rp1 miliar. Angka ini belum termasuk tambahan dari Desa-Desa baru hasil pemekaran.
Nominal fantastis ini menimbulkan tanda tanya besar: apakah seluruh dana tersebut benar-benar digunakan untuk kepentingan pelatihan, atau justru mengalir ke kantong pribadi oknum tertentu?
Kepala desa setempat yang juga dikonfirmasi membenarkan adanya kejanggalan.
“Kami hanya ikut karena diundang, tapi kalau soal teknis anggaran dan pelaksanaan, itu ada panitianya. Tapi memang ada hal yang tidak sesuai di lapangan,” katanya singkat.
“Penggunaan anggaran desa seharusnya mengikuti aturan ketat yang telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Setiap pengeluaran wajib dilengkapi laporan pertanggungjawaban yang jelas dan transparan. Jika terdapat penyimpangan dari peruntukan yang sah, potensi pelanggaran hukum dapat terjadi meski nilainya tampak kecil di tingkat desa.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak panitia pelaksana kegiatan belum memberikan keterangan resmi terkait dugaan penyalahgunaan anggaran tersebut.
” Sementara itu, masyarakat dan para pemerhati desa mendesak agar inspektorat dan aparat penegak hukum ( APH) turun tangan untuk menelusuri aliran dana bimtek yang diduga disalahgunakan untuk kepentingan kelompok tertentu yang notabene korupsi berjemaah jelas jelas perbuatan melanggar Hukum.
Fenomena “bisnis bimtek” dengan memanfaatkan dana desa bukanlah hal baru, namun dugaan terbaru ini kembali membuka mata publik bahwa transparansi dan akuntabilitas keuangan desa masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi pemerintah daerah dan para pemangku kepentingan.
Dalam hal ini bertentangan dengan Korupsi anggaran dana desa dapat dikenakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang diubah oleh UU No. 20 Tahun 2001, karena perbuatan tersebut termasuk perbuatan korupsi. Dalam konteks tertentu, pasal-pasal ini dapat dikombinasikan dengan Pasal 55 ayat (1) KUHP dan Pasal 18 UU Tipikor.
Pasal 3 UU 31/1999, berbunyi:
Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp1 milyar.
(Red)
