
Jakarta dettiknews.com – Majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta Pusat, dalam sidang yang digelar pada Senin (25/11), memutuskan bahwa kerugian negara yang timbul dari proyek pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa (2015-2023) hanya sebesar Rp 30,8 miliar. Jumlah ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan dakwaan jaksa yang sebelumnya mencatat kerugian mencapai Rp 1,1 triliun.
Putusan ini dibacakan oleh Ketua Majelis Hakim, Djuyamto SH, MH, yang menyatakan bahwa angka kerugian negara tersebut dihitung berdasarkan audit internal serta keterangan saksi-saksi yang dihadirkan dalam persidangan.
Dalam pertimbangannya, hakim mengacu pada hasil audit Inspektorat Jenderal Kementerian Perhubungan yang menyebutkan bahwa progres proyek telah mencapai 98% pada 2021. Oleh karena itu, hakim berpendapat bahwa tidak adil jika kerugian negara dihitung berdasarkan total loss akibat proyek yang belum sepenuhnya operasional.
“Meski proyek ini belum selesai dan belum dapat dioperasikan, sejumlah pekerjaan sudah terlaksana dan barang yang terpasang sudah dibeli dengan uang negara. Karena itu, kerugian negara seharusnya dihitung berdasarkan apa yang sudah dikerjakan, bukan berdasarkan total kegagalan proyek,” ujar Djuyamto dalam persidangan.
Proyek pembangunan jalur kereta Besitang-Langsa yang dimulai pada 2015 sempat terhambat dan menjadi sorotan publik akibat dugaan korupsi yang melibatkan sejumlah pejabat Balai Perkeretaapian Medan dan kontraktor swasta.
Terdakwa dalam kasus ini antara lain Kepala Balai Perkeretaapian Medan (BTP) 2016-2017, Nur Setiawan Sidik, serta Kepala BTP Medan 2017-2018, Amanna Gappa, yang bersama dua pihak swasta lainnya, Arista Gunawan dan Freddy Gondowardojo, terbukti melakukan tindak pidana korupsi.
Hukuman untuk Para Terdakwa
Majelis hakim memvonis empat terdakwa dalam kasus ini dengan berbagai hukuman. Nur Setiawan Sidik, yang terbukti melakukan pelanggaran korupsi, dijatuhi hukuman penjara 4 tahun, denda Rp 250 juta, dan diwajibkan membayar uang pengganti sebesar Rp 1,5 miliar. Jika tidak membayar uang pengganti, ia akan dihukum dengan pidana penjara tambahan selama 1 tahun.
Terdakwa Amanna Gappa dan Freddy Gondowardojo masing-masing divonis 4,5 tahun penjara, denda Rp 250 juta subsider 3 bulan, serta diwajibkan membayar uang pengganti yang lebih besar, yakni Rp 3,2 miliar dan Rp 1,5 miliar. Uang pengganti tersebut harus dibayar dalam waktu satu bulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap, atau diganti dengan tambahan masa kurungan.
Sementara itu, Arista Gunawan, yang bekerja sebagai team leader di PT DYG, divonis penjara selama 4 tahun dan denda Rp 250 juta subsider 3 bulan. Namun, hakim menghapuskan kewajiban pembayaran uang pengganti yang dituntut jaksa, sebesar Rp 12,3 miliar, dengan alasan bahwa uang tersebut diterima oleh perusahaan tempat Arista bekerja, bukan oleh dirinya secara pribadi.
Kontroversi Kerugian Negara
Sebelumnya, jaksa penuntut umum dalam dakwaannya menilai bahwa kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp 1,1 triliun, berdasarkan audit Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Namun, majelis hakim berbeda pendapat.
Hakim menilai bahwa angka tersebut tidak mencerminkan kenyataan di lapangan, mengingat proyek jalur kereta tersebut sudah mencapai progres 98% dan sejumlah pekerjaan telah terlaksana dengan barang yang sudah terpasang.
Majelis hakim mengacu pada Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 2016 yang memberikan kewenangan kepada hakim untuk menentukan besaran kerugian negara berdasarkan fakta-fakta yang terungkap dalam persidangan. Dalam hal ini, hakim menganggap bahwa kerugian yang dihitung hanya pada pembayaran fiktif dan selisih pekerjaan yang tidak selesai.
Pembangunan jalur kereta api Besitang-Langsa seharusnya dapat meningkatkan konektivitas dan mendukung perekonomian di wilayah Sumatera. Namun, keterlambatan dan dugaan korupsi dalam proyek ini membuatnya semakin terhambat. Meskipun demikian, hakim menyatakan bahwa negara tidak boleh merugikan pihak-pihak yang telah bekerja sesuai dengan kontrak, meskipun proyek belum sepenuhnya berfungsi.
Sidang ini mengakhiri proses panjang yang telah berlangsung selama hampir satu dekade, dan putusan ini diharapkan bisa menjadi pelajaran bagi penyelenggara proyek pemerintah agar lebih transparan dan akuntabel dalam penggunaan anggaran negara. (Rik)