
Jakarta dettiknews.com Presiden Joko Widodo (Jokowi) tak lama lagi meninggalkan singgasana kekuasaan yang telah diduduki 10 tahun. Selanjutnya dilanjutkan oleh Prabowo Subianto, sebagai presiden terpilih, akan menggantikannya. 4 hari berikutnya, tatkala kita masih hangat membicarakan jejak Paus Fransiskus, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) melakukan tindakan yang juga bermakna sangat mendalam dari sudut kebudayaan. Tindakan itu adalah penghapusan Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintah Negara dari Presiden Soekarno.
Dengan penghapusan itu, TAP MPR menegaskan bahwa Bung Karno, sang proklamator, tidak pernah mengkhianati negara. Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 berisi pencabutan kekuasaan Soekarno dengan alasan mengkhianati negara. Ketetapan MPRS tersebut dinyatakan sebagai kelompok ketetapan MPRS yang tidak berlaku lagi berdasarkan Ketetapan MPR Nomor 1/2003 yang memberi wewenang MPR melakukan peninjauan terhadap materi dan status hukum ketetapan MPR dan MPRS dari rentang waktu 1960 – 2002.
MPR menilai, tuduhan terhadap Soekarno tidak pernah dibuktikan secara hukum dan keadilan. Tuduhan tersebut juga dinilai bertentangan dengan prinsip Indonesia sebagai Negara yang berdasar atas hukum. Pertimbangan lainnya, pada 2012, Bung Karno telah dianugerahi gelar pahlawan nasional oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009 tentang Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, salah satu syarat pemberian gelar pahlawan nasional adalah setia dan tidak pernah mengkhianati Bangsa dan Negara.
Saya melihat relasi bermakna antara teks yang diproduksi Paus Fransiskus dan MPR tentang penghapusan Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/ 1967. Kedua teks memancarkan makna yang penting dan relevan untuk kebudayaan Indonesia masa depan. Inti kebudayaan adalah cara hidup manusia secara bersama. Kebudayaan terbentuk berkat tendensi manusia untuk selalu memperbaiki kehidupannya. Hari ini mestilah lebih baik daripada kemarin. Hari esok mestilah lebih baik daripada hari ini. Kehidupan yang diperbaiki meliputi kehidupan lahir dan batin, material dan imaterial. Manusia tidak cukup memenuhi pangan, sandang, dan papan. Manusia butuh pula rasa aman dan nyaman, butuh pula pengakuan dan penghargaan. Buat saya, tindakan MPR mencabut Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 bisa dikatakan “terlambat”. Namun, sebagaimana ajaran kebajikan, lebih baik terlambat daripada tidak sama sekali. Saya sebut “terlambat, mestinya tak lama dari lahirnya Ketetapan MPR Nomor 1/2003, MPR sudah berani memutuskan. Namun, proses politik, sebagaimana juga Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 sebagai produk politik, bukan produk hukum, ternyata memang membutuhkan “kesabaran revolusioner”. Terutama bagi keluarga besar Bung Karno dan bangsa Indonesia pada umumnya.
Kekuasaan yang terjalin dalam proses politik memiliki seleranya sendiri. Kekuasaan turut menentukan perbincangan, kebijakan, dan menetap kan nilai-nilai, sehingga baru menjelang akhir kepemimpinan MPR 2019-2024, penghapusan Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 baru bisa dilakukan. Boleh jadi kesadaran kolektif, yang terbentuk melalui titik temu antara kondisi objektif dan kondisi subjektif, memang baru terwujud pada periode ini. Sebagaimana mimpi kemerdekaan rakyat Indonesia yang sudah membuncah pada dekade 1930-an, ternyata baru 15 tahun berikutnya kemerdekaan itu nyata, setelah Perang Dunia Kedua dan Jepang kalah. Saya merasakan jalinan makna antara jejak Paus Fransiskus selama beberapa hari di Indonesia dan jejak Bung Karno yang telah menjadi sejarah yang selayaknya menuntun bangsa Indonesia. Ada kata-kata kunci yang semakna. Paus Fransiskus mengingatkan tentang kerukunan, perbedaan bukan alasan untuk pertikaian. Bung Karno selalu mengingatkan soal persatuan, gotong royong. Bahkan, pada pidato 1 Juni 1945 Bung Karno menyebut gotong royong sebagai inti Pancasila yang telah ditetapkan sebagai dasar negara. Dengan gotong royong, individu tidak dikerdilkan. Dengan gotong royong itu pula, individu mendapatkan tempat untuk kebersamaan. Di dalam gotong royong, seseorang akan tumbuh subur dalam taman sari orang lain. Inilah idealisasi sekaligus modal sosial-kultural bangsa Indonesia. Namun, kita juga harus kritis-reflektif. Gotong royong, asas paling dasar dalam kehidupan bangsa Indonesia, ternyata terus-menerus diuji. Bahkan, tak jarang justru kaum elite, para cerdik pandai lulusan pendidikan tinggi yang suka mempertontonkan tindakan tak terpuji yang menabrak logika kepantasan umum, ingkar pada prinsip dasar gotong royong. Banyak kaum elite dipenjara karena korupsi. Bahkan, pejabat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diberhentikan karena dugaan korupsi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) diberhentikan dari jabatannya karena pelanggaran etik. Sungguh memprihatin kan. Sungguh mengoyak akal sehat dan nurani. Saya lalu teringat pemikiran kritis generasi ketiga Mazhab Frankfurt (Jerman). Struktur normatif kehidupan masyarakat secara keseluruhan mengalami krisis “rekognisi” (pengakuan). Pengakuan tentang hak-hak dan identitas, baik individu maupun kelompok sosial, seharusnya menjadi prinsip penataan masyarakat. Menurut Honneth, pemikir Mazhab Frankfurt, tanpa politik rekognisi yang baik, berimbang, dinamika masyarakat hanya akan menghasilkan malapetaka bagi umat manusia. Maka, keadilan bukan sekadar distribusi ekonomi yang merata. Bukan “economic equality”, melainkan “social respect” dan “dignity”. Keadilan adalah situasi tatkala orang atau kelompok sosial mendapatkan pengakuan dan penghargaan tentang hak-hak dan martabatnya, tatkala masing-masing warga dapat merealisasikan dirinya secara baik dalam kehidupan sosial, dapat bertindak bebas untuk berkontribusi bagi kepentingan bersama. Dan, kita menyebutnya gotong royong. Penghapusan Ketetapan MPRS Nomor 33/MPRS/1967 patut diapresiasi dan dimaknai secara positif untuk Indonesia masa depan. Saya melihat negara sudah “berdamai” dengan Bung Karno. Maka, seyogyanya segera ajarkan secara baik dan benar pikiran-pikiran Bung Karno kepada para siswa/mahasiswa. Juga pikiran pendiri bangsa Indonesia yang lain. Agar para calon penentu masa depan kita mengenali dan memahami secara baik hal-hal fundamental kebangsaan dan visi besar Indonesia merdeka. Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Tgl 12/9/2024.
( Parlin )